Kamis, 16 Juni 2011

Anak Rambutan

Cerita pendek ini diperlombakan di Kastil Fantasi


Anak Rambutan

Anak-anak tetangga sebelahku selalu saja memandangiku dengan sedikit sinis. Tetapi aku tak ingin menggubrisnya. Aku sedang sibuk dengan proyekku untuk meneruskan pembangunan rumah kedua. Tetapi ada saja halangannya. Kali ini mereka tak segera pergi untuk bermain atau masuk ke rumah masing-masing. Malah sengaja mengambil anak tangga yang ku sandingkan di batang pohon yang sekarang ku panjat.

”Memangnya aku takut jatuh jika mereka mengambilnya? Silakan saja.” gumamku sembari melanjutkan proyek dengan bersemangat.

Beberapa menit berlalu, tanpa dipanggil mereka kembali menghampiriku. Kali ini mereka datang dengan membawa sebilah kayu. Entah dengan atau tanpa arti mereka membawanya.

”Wah, terima kasih. Tak usah repot-repot dengan membawa kayu untuk sebuah istanaku.”
”Kalau mau taruh saja di bawah. Nanti aku turun untuk mengambilnya.” pikirku positif, karena tak tahu apa yang akan mereka lakukan.
”Turun tidak!? Berisik tahu!! Turun!!” sahut orang yang menenteng kayu tersebut dan menunjukkannya padaku.
”Memang aku takut? Coba saja kalau berani?!” tantangku lagi. Tanpa aku hiraukan mereka. Kembali aku teruskan rumah impianku di sela-sela cabang yang kokoh.

Lagian, mengapa mereka ribut sendiri? Rumah-rumahku sendiri, pohon-pohonku sendiri, di pekarangan orang tuaku sendiri. Aneh, kalau berisik tutup mata. Eh, tutup telinga. Biar tak mendengar sekaligus melihatnya. Atau mereka sirik denganku. Karena aku bisa memanjat pohon di ketinggian 2,5 meter. Di usia muda menginjak dua belas tahun, pikirku harus mulai berani untuk mencoba hal-hal yang menantang. Tetapi mungkin tidak dengan mereka. Di umur delapan tahun saja mereka sudah berbobot lima puluh kilogram. Sehingga menjelang umur sebaya denganku, mereka bertambah gemuk. Itulah sebabnya anak mami tersebut iri padaku. Karena aku dapat memanjat dengan tubuh yang ideal.

Hampir satu Minggu proyekku telah delapan puluh lima persen berdiri. Kini tinggal memasang atap dan anak tangga yang menngantung dengan tali. Tanpa bantuan siapapun apalagi tukang kayu, orang tuaku pun membebaskanku bermain sesuka hati.

Bulan ini memang sedang panen. Semua pemetik buah segera bekerja. Memanjat semua pohon tapi tidak dengan pohonku. Ya, satu pohon yang ku jadikan proyek rumah pohon. Walaupun banyak yang matang di sela-sela ranting pohonku.

Memang pohon ini milikku. Tanpa aku larang, mereka tak berani memetiknya. Karena sudah dapat amanat dari juragan mereka.

”Senangnya bisa menikmati buah manis. Sembari leyeh-leyeh1 di rumah pohon ini.” sambil terus mengupas buah yang sudah aku kumpulkan. Tanpa sengaja kulit rambutan yang aku buang mengenai seseorang anak mami yang waktu lalu menantangku dengan kayu untuk segera turun.

”Hei, jangan seenakknya membuang kulit rambutan itu. Apalagi mengenai kepalaku.” celoteh Beni sambil menyudutkan tangannya di pinggang.

Aku acuh saja pura-pura tidak tahu.
”Salah siapa lewat di bawah Istanaku tanpa permisi.” sahutku.

Dengan kesalnya Beni bergegas menghindar dengan marahnya bak pesumo handal. Serasa gempa di sekeliling pohon akibat ulah si gembul.

Sambil terus mengunyah rambutan, tiba-tiba ada yang menyambar dengan menasehatiku. ”Lain kali hati-hati kalau membuang kulitku.”
”Iya-iya..” jawabku.

Tanpa sadar aku menoleh ke sumber suara. Tetapi tak ada orang di sekelilingku. Di bawah pohon, di pohon sebelah. Bahkan aku tengok ke atas. Seraya merinding di siang hari.

”Roni... Roni....!! Ayo turun, Nak. Kamu latihan silat tidak?” suara itu membuyarkan lamunanku yang dari tadi setengah merinding.

”Iya Bu. Aku turun” padahal di hari Minggu ini aku ingin sejenak menghabiskan waktu dengan santai di rumah pohon itu. Tetapi apa boleh buat. Tiga hari lagi aku ujian kenaikan tingkat di Perguruan Pencak Silat ’Tapak Suci’.

Segera aku bergegas turun dan bersiap untuk berangkat latihan setengah memikirkan siapa yang celetuk tadi. Berlagak menasehati padaku. Tetapi imajinasiku segera ku singkirkan supaya latihan kali ini tak terganggu dengan hal-hal yang belum pasti.

”Aku harus fokus dilatihan ini. Biarlah apa yang terjadi tadi siang itu adalah salah dengar.” dalam hati aku meyakinkan.
***

”Ibu, malam ini aku menginap.......”
”Tidak boleh!” belum selesai bicara sudah dipotong oleh Ibu. Karena Ibu tahu, pasti aku akan bermalam di Istana itu. Dan Ibu tentu tidak setuju.

”Biarkan saja Roni menginap di rumah itu. Toh, rumahnya tidak jauh dari rumah kita. Beri dia kebebasan untuk bersenang-senang. Asalkan positif. Lihatlah, susah payah dia bangun rumah itu sendiri. Apalagi besok hari Minggu. Jadi biarkan saja, ya?” Akhirnya Ayah membelaku setelah bersusah payah merayu Ibu.

”Ibu khawatir denganmu, Nak.”
”Jaga dirimu di sana. Kalau ada apa-apa cepat hubungi Ibu.” sela Ibu dengan penuh keprihatinan.

”Jangan khawatir, Bu. Anak Ibu ini kan pintar bela diri. Jadi Ibu tenang saja.” jawabku meyakinkan.

Setelah mendapat izin orang tua, aku langsung mengambil selimut dan bantal untuk menemaniku tidur. Tak ketinggalan pula komik kesayanganku. Tinggal menyalakan lampu yang ada di rumah pohon itu.

Dan petualanganku pun dimulai. Ku hidupkan musik yang ada di telepon genggam, pelan saja. ”Mampus, kenapa aku bawa koleksi komik horor? Harusnya aku bawa komik detektif saja.” kesalku saat menyadari bahwa yang ku bawa adalah komik Ghost At School. Harusnya komik Detective Conan.

”Mana tadi siang ku dapati suara misterius lagi.” batinku.

Tampaknya imajinasiku tadi siang tiba-tiba menerkam masuk dalam pikiranku lagi. Aku lanjutkan saja membaca komik dengan tenang seakan tidak ada apa-apa.

”Tidak perlu takut, kami akan menjagamu.” kata dia meyakinkan.
”Sungguh? Baiklah, sekarang aku tenang dan akan aku lanjutkan membaca komik ini. Terima kasih.” jawabku sembari terus membaca dengan iringan lagu slow Butterfly milik Teh2 Melly.
”Komik apa itu Raja? Kemarilah, ini ada rambutan kesukaanmu.” tak lama dia menanyakan lagi kepadaku.
”Kebetulan sekali, dari tadi membaca tak ada camilan yang ku bawa. Sekali lagi terima kasih.” balasku sambil menerima keranjang kecil yang dia berikan.

Terus melahap buah manis pemberiannya. Karena memang perutku dari tadi sedang kosong. Belum makan malam dan sengaja aku ingin segera merasakan rumah yang telah selesai sejak kemarin siang. Tiba-tiba kerongkonganku tersendat karena ulah makanku yang terlalu lahap.

”Minum, minum.. Aku butuh minum.” panikku sembari menemuinya, mungkin dia membawa air.

”Ada di mana aku? (Uhuk...uhuk...) Kenapa aku bisa ada di sini?” berusaha untuk bertanya sambil batuk tak tertahankan.

Terkejutnya aku saat melihat sekelilingku. Begitu melihat di samping kursi itu, ketemui segelas air. Lalu aku minum untuk melancarkan kerongkongan yang sejak tadi gatal.

Sembari minum, aku terus melihat di sekelilingku. Pepohonan yang rindang nan penuh buah yang merah cantik. Rumput-rumput yang tumbuh subur. Kupu-kupu yang beterbangan cantik menggoda. Ku letakkan gelas itu di meja.

”Di manakah aku? Hei, kamu di mana? Kenapa aku bisa ada di sini?” tanyaku sekali lagi.
”Kenapa Raja panik? Bukankah Raja sudah lama berada di sini?” jawabnya tanpa aku melihatnya.

Semakin penasaran dan terus mencari sumber suara. Kali ini benar aku bingung dibuatnya.

”Hamba di sini Raja. Hamba selalu menemani di sekeliling Raja. Apakah benar Raja tidak melihat Hamba? Hamba adalah buah yang sering Raja makan.” pungkasnya lagi kepadaku.

Ku lihat di atas tepat dihadapanku. Tak ku sangka. Buah itu dapat bicara denganku. Sekali lagi ku benar-benar terkejut saat melihat tubuhku. Melekat pakaian bak Raja sungguhan. Mahkota yang bermatakan buah kesukaanku. Tidak pernah menyangka akan seperti di dongeng yang pernah diceritakan Ibu semasa kecil.

”Apa kamu juga yang tadi siang berbicara kepadaku?” tanyaku kepada si Rambutan.
”Benar Raja, Hamba yang telah menasehati Raja. Maafkan Hamba Raja, janganlah Raja berbuat tidak baik. Apalagi membunag kulit Hamba sembarang tempat. Maaf, bukan Hamba ingin....” balasnya dengan pelan.
”Cukup” potongku kepada si Rambutan. ”Aku tidak ingin disebut Raja. Dan saya ini bukan Raja kamu. Aku tak mengerti semua ini. Siapa aku sebenarnya di sini. Dan biarkan saya menjadi manusia biasa seperti saya ingin memetikmu” lanjutku.

Dia terdiam entah mengapa. Aku heran dengan keadaanku sekarang. Semakin bingung dibuatnya. Ku letakkan komikku di atas kursi Raja itu dan ku hampiri pohon yang buahnya berbicara kepadaku.

”Baiklah, biarkan sejenak aku bersandar di batangmu. Aku sepertinya mengantuk setelah membaca komik tadi.” akunya sambil menguap dan segera terlelap.

”Hai sang Raja. Mengapa kamu tidur tidak tahu waktu.” kembali ada yang berbicara kepadaku.
”Hai si Rambutan. Janganlah engkau mengusikku lagi. Apalagi memanggil dengan sebutan Raja. Panggil saja aku Roni. Dan biarkan sang Rajamu ini sejenak tidur.” jawabku padanya.
”Roni........ Cepat turun dan segera mandi!” timpalnya dengan lantang berkali-kali.

Spontan aku terbangun dan menyadari bahwa suara itu lain dari suara si Rambutan. Suara wanita yang tak asing lagi bagiku. Astaga, suara itu.

Segera aku turun. Ku biarkan musik yang sejak malam aku bunyikan itu masih berisik mengiringi langkah kakiku menuju rumah utama. Dan seraya kembali berimajinasi dalam suasana Istana Rambutan.

”Iya, Bu. Roni segera mandi.” sahutku sambil masuk ke dalam rumah.
***

Otakku sekarang dipenuhi oleh imajinasi yang begitu tinggi. Terus membayangkan untuk masuk ke dalam dunia itu. Entah apa yang ingin ku perjelas lagi. Semua belum bisa diyakinkan.

Sarapan pagi ini adalah sepiring roti bakar dan segelas susu cokelat. Tak ketinggalan pula tersedia buah rambutan yang sudah dipetik dan disajikan di keranjang kecil. Persis seperti yang pernah ku lihat sebelumnya. Tapi di mana? Terus mengingat-ingat dan telah ku temukan jawabannya. Dalam dunia fantasi itu. Di mana aku seperti Raja di Istana Rambutan.

Ketika aku ambil satu buah rambutan, terlihat rambutan itu seperti tersenyum kepadaku. Entah apa yang ada di penglihatanku. Tampak aku tak mempercayainya. Ku ambil saja dan mengingat nasehat yang pernah si rambutan katakan. Memang benar, akhir-akhir ini aku sedikit ceroboh, seenaknya sendiri, dan masa bodoh.

Semakin penasaran untuk dapat kembali ke alam buah itu. Banyak hal yang dapat aku temui dan aku tanyakan mengapa aku yang dijadikan Raja olehnya. Apa karena proyek itu? Atau memang benar itu hanya fantasi saja.

Siang ini aku ragu untuk kembali ke rumah pohon itu. Tapi entah mengapa kaki ini terus saja berjalan dan segera mencari tahu kebenarannya.

Saat membuka pintu rumah itu, kini benar. Ada kehidupan lain yang tak bisa aku bayangkan. Sekarang aku percaya, walau masih ragu untuk melangkah. Jelas saja, rumah pohon yang hanya muat satu orang saja, berubah menjadi halaman yang luas dengan Istana kecil yang dikelilingi pohon rambutan. Ku langkahkan kaki untuk masuk.

”Si Rambutan, di mana kau? Aku ingin berbicara padamu.” aku sambil terus mencarinya.

Kini aku memakai jubah Raja lagi. Seperti waktu lalu. Kemudian aku masuk dalam Istana dan melihat apa yang ada di dalamnya. Berusaha mencari apa yang bisa dibawa ke alam nyata.

Ku temukan dua cermin besar yang menggantung diantara kursi Raja. Tampak sepi tanpa ada siapapun. Kembali aku memanggil siapapun yang ada di dalam Istana.

”Apa ada orang? Di mana kalian.” sahutku sangat keras.

Aku terus berjalan mengelilingi Istana sambil terus melihat seseorang di Negeri ini. Lalu aku istirahat di bawah pohon rambutan.

Tak satupun seseorang yang tampak. Berusaha untuk menghindar dariku atau memang hanya aku dan pohon-pohon ini yang ada? Jika benar begitu, apa arti dari semua ini. Atau ini Negeri impian yang hanya bisa dirasakan oleh seseorang yang menginginkannya saja? Tetapi aku tak pernah menginginkannya. Mengapa aku yang mendapatkannya?

Sambil memikirkan itu dan bersantai sejenak di bawah rindangnya pohon, aku terus memanggil si Rambutan yang kemarin bisa berbicara. Tapi tak ada jawaban dan memang di sini sangat sepi. Nyaris tak ada suara sama sekali kecuali suara gesekan dedaunan yang tertiup angin.

Udara di alam sini sangat sepoi. Tidak panas dan tidak terlalu mendung. Dan aku belum pernah menemui sore ataupun malam. Saat itulah aku berencana untuk mengetahui pergantian hari di Istana ini.

Sampai-sampai aku kelelahan dan tertidur.

Suasana di dalam sini sangatlah nyaman. Ketenangan yang sangat tidak bisa dibayangkan. Mungkin kalau ada seseorang dari luar alam ini memanggilku apa dunia ini bisa berubah, sewaktu aku dipanggil Ibu. Telepon genggam milikku juga tidak bisa terbawa. Aku masih meninggalkannya di rumah pohon ini. Bagaimana awal bisa berubah menjadi seperti ini. Padahal dilain waktu saat bersantai di rumah ini tidak ada yang berbeda.

Itulah yang aku bayangkan dalam mimpi saat tertidur di bawah pohon rambutan itu. Saat aku terbangun karena tidak terbiasa berbantal kerasnya batang pohon rambutan, sekarang aku mengerti tentang semua ini. Rasa senang karena bisa kembali ke alam nyata dan aku bisa melihat dinding rumah pohon yang aku buat. Tanpa seseorang yang memanggilku seperti waktu lalu atau entahlah. Yang penting aku sudah bisa bebas dari alam yang membuatku tidak bisa berbuat apa-apa.
***

Begitu aku kembali aku hanya bisa terus berdoa seraya meminta petunjuk kepada Sang Pencipta alam seisinya. Ada apa dengan semua ini? Apa yang terjadi padaku? Apa hanya aku yang dapat melihat semua ini? Jika orang lain yang masuk, apakah dapat melihat seperti yang aku lihat?
Itulah yang aku tanyakan setelah berdoa kepada-Nya. Dan aku tak ingin orang lain dapat masuk dan melihat apa yang aku lihat. Dan aku tak ingin ada pembicaraan tentang kerajaan Rambutan. Biarlah aku dan Tuhan yang tahu.

Sebelum aku turun, aku ingat untuk mengambil telepon genggam yang dari kemarin belum aku ambil. Mungkin sudah tidak nyala atau baterainya habis karena pemutar musik yang belum aku matikan. Dan semenjak keluar dari alam sana, aku tak ingin kembali lagi.
***

Musim telah berlalu, tak ada rambutan yang berbuah. Rumah itu pun masih berdiri kokoh di pohon rambutan. Belum ada pikiran untuk kembali ke dalam Istana Rambutan. Menghindar untuk tidak mendekat pohon itu. Biarlah menjadi rumah yang tak terurus. Dan mungkin lusa aku akan mencobanya. Mungkin.
***

Dugaanku benar. Semakin aku dibuat penasaran olehnya. Berusaha untuk mencari kebenaran dibalik semua rahasia yang ada di dalam rumah pohon buatanku. Dan segera untuk menghancurkannya jika memang dunia itu masih ada. Aku hanya ingin bersenang-senang, tapi mengapa aku mendapatkan hal yang belum bisa aku cerna karena semua itu masih misteri yang belum terpecahkan. Dan aku mulai memanjat pohon itu.

”Semoga saja ini tidak terjadi lagi.” batinku sambil memejamkan mata dan membuka pintu.

Begitu pintu terbuka, mataku masih tertutup sampai daun pintu itu sudah terbuka lebar. Mataku masih tertutup seraya berdoa dan semoga saat aku buka mata bukan melihat alam dunia rambutan. Berusaha untuk membuka perlahan-lahan mataku ini dan terus memanjatkan doa. Dan kegelisahanku sirna saat melihat di depan mataku adalah dunia nyata.

”Syukurlah, aku masih berada di dunia nyata.” aku sambil menghela nafas.

Akan tetapi aku belum puas karena tidak menutup kemungkinan saat aku berada di dalam rumah itu, tiba-tiba alam berubah menjadi halaman Istana di Negeri Rambutan seperti yang pernah terjadi sebelumnya.

Dengan detak jantung yang sedikit memacu adrenalin dan meniup nafas dalam-dalam. Kini aku mulai masuk ke dalam rumah pohon tersebut. Untuk memastikan akan berubah dunia atau tidak, aku tutup pintu dan kembali memejamkan mata.

Agak lama aku memejamkan mata. Lalu ku beranikan diri untuk sedikit membuka mata. Hembusan nafasku kali ini panjang. Seraya memastikan tidak terjadi apa-apa, ku buka semua mata dan bergerak kesana kemari. Ternyata dunia itu telah hilang.

Aku terus berfikir dengan kejadian ini. Apa yang menyebabkan dunia ini menghilang. Dan ini menjadi riwayat hidup yang tak pernah terlupakan. Ku buka jendela dan pintu rumah sambil melihat sekeliling pohon. Ku lihat si gembul sedang bermain di samping rumah bersama teman sekolahnya. Juga ku lihat Ibu tengah mengangkat jemuran. Dan Ayah sedang membenahi antena televisi.

Sekarang aku mengerti. Kapan saat-saat dapat melihat dunia itu. Bagaimana cara memasuki dunia itu. Dan karena semua itu, aku terus mencoba sesuatu yang belum pernah ada di dalam pikiranku.

Dengan percaya dirinya, ku keluarkan telepon genggamku dan mulai berpose dengan kamera. Empat gambar ku abadikan dan segera ku turun meninggalkan rumah pohon. Ku ambil beberapa rumah pohon itu sambil berharap setelah ku ambil gambar itu menjadi Istana yang pernah aku lihat.

Setelah malam datang, aku berniat untuk mengunggahnya ke dalam situs jejaring sosial. Saat kutemui gambar itu benar-benar menjadi sebuah Istana yang di kelilingi pohon rambutan persis dengan Istana yang pernah ku lihat kemarin. Dan aku segera aku melihat di balik jendela kamarku untuk melihat rumah pohon itu. Sambil menggeleng-gelengkan kepala karena ini sudah melewati batas akal.
-o0o-

Catatan kaki :
1 leyeh-leyeh : (Jawa) santai dengan meluruskan kaki
2 Teh : (Sunda) Sebutan untuk perempuan yang dituakan

Sabtu, 11 Juni 2011

Langkah Berat Menggapai Impian

Ketika sajak ini aku tulis bersama keringat bercucuran bak orang panggang ala sengat matahari, kutulis semua yang ada di dalam otak dan nalarku untuk sebuah goresan tinta. Tapi untuk kali ini aku sedikit kehilangan jati diri seorang penulis pemula yang ingin memperkenalkan dirinya kepada dunia luar. Buntu, tidak ada jalan keluar yang bisa aku tembus. Bundhet seperti pita kaset yang nglokor. Tak tau harus dibuang atau dirapikan. Hal ini membuat pikiranku tak bisa tenang.

Aku hanya bisa berfikir sejauh apa yang sebelumnya terjadi pada sekarang. Entah. Aku ingin ke pantai dan teriak sekencang-kencangnya. Sampai semuanya lepas dan beban pikiran ini bisa menjadi lancar. Tak ingin macet, hanya saja pucet. Sedikit saja aku ingin tenang agar karyaku bisa terbit dan tercetak oleh sejarah hidupku. Mengawali dari niat yang takkan terhalangi oleh siapapun. Bebas berekspresi lewat lentikan jari sebagai karya yang ternilai.

Berjalan melewati batas dinding yang begitu amat sangat menghalangi. Menyeberang air yang keruh dan terpeleset dalam jurang yang dalam. Kaki ini mulai tak bisa diajak kompromi. Tak ada satupun yang lihat. Diriku satu di tempat itu. Usaha pantang pasrah, gentar menghadapi apa yang ada di depan mata. Langkah ini hanya untuk impian. Bukan untuk bermalas-malasan. Dan tak ada batas penghalang lagi bagiku untuk berimajinasi saat duduk dan terus melentikkan jariku...

Jumat, 10 Juni 2011

Tak Berarti Buruk

Pagi di persimpangan kota menjelang siang. Ku lihat dia sedang termenung saat semuanya sedang sibuk kerja. Apa dia tidak ada kerjaan. Seperti sedang menunggu sesuatu yang belum pasti.
Berawal dari sebuah kisah klasik, mudah ditebak. Begitu pula saat dia berencana untuk menutupi kebohongan yang pernah dia buat. Menarik untuk disikapi. Tapi dia tidak mau diberi yang lurus. Serakah sekali kau dengan semua yang kau punya dan seenaknya berkata padaku tentang bla...bla...bla...
 
Akankah kau selalu begitu pada semua orang. Atau hanya padaku sebagai korban tunggal dari semua permainan busukmu. Dalam hati hanya balas benci.
Muak dengan semua tingkah tutur katamu. Merasa paling benar dan tak mau mengalah. Korban dari semua intrik licikmu. Aku hanya bisa berdoa. Semuanya biar lerai. Terlarut-larut dalam kesedihan yang dibuat-buat. Layaknya sebuah sinetron yang terbius dan menyucurkan air mata sampai seember. Atau menghabiskan tisu bergulung-gulung.
Demikianlah aku katakan kepadamu. Tak selamanya yang aku lakukan itu buruk. Demi kebaikan dan jalan penengah dari segala macam agenda yang berbelit-belit. Baik bagimu, tak layak untukku.



Sore menjelang malam, kau sebut namaku. Itulah saat-saat pahit yang meradang di hati. Dengan segenap rasa ku percepat segera sampai ke gubug derita awal perjalanan hidup mengenalmu..

Kamis, 09 Juni 2011

Ketidakpunyaan Rasa

Menemukanmu adalah suatu ketidakpercayaan
Mengenalmu adalah bagian dari pahitnya hidup
Kau cerca kata, kau tikam rasa
Sejenak sebentar kau terbiasa
Dan aku tidak

Kurasa tak percaya
Menerkam aku bersama deretan kisah
Berseteru dalam maya nyata gila
Menelusup bersama janji-janji palsu
Tak kuasa terus menyudutkan

Ketidakpunyaan rasa padamu
Bukan rasa biasa
Menilai sesuatu naluri hati
Terkecoh sajak berisi bisa
Dentum berdentang melantang
Menggelegar bersama kilat
Cepat merambat bersama kicauan

Ketidakpunyaan rasa padamu
Bersama ini akhiri sudah

Sebuah Kaca Retak

Kaca yang retak pagi tadi
Seribu isarat bersama dalam rapuhnya hati
Beribu kisah kocar-kacir tak karuan

Apa-apaan ini?
Tak berserakan dengan rapi
Kaca itu belum pecah
Tapi serbuk sedih telah jatuh,
dan mengenai kulit hati

Mensayat pembuluh
Menetes tercecer darahku

Kaca retak tak terawat
Mengenai hati yang tersayat
Saat pagi hari menjelang siang
Kau tuturkan itu di depan kaca kemudian retak

Rabu, 08 Juni 2011

Biarlah Berlalu

Mengubah asa yang tak pasti
Menganggap baik-baik saja
Bukanlah alasan yang tepat
Andai kau bisa putar kembali

Akupun tak mau
Kau putar masa seperti dulu
Serpihan kaca pahit menusuk
Menggempar selubung raga
Kau mampu memutarnya?

Sekalipun kau mampu
Hadapi aku
Kan ku bantu
Untuk merubahnya

Saat kau merubahnya
Kau kan menyesal
Karena aku tlah meninggalkanmu

Biarlah berlalu
Tulislah cerita baru

Sahabat

Hujan gerimis sore ini turun
Udara dingin menusuk nadiku
Menggigil setengah demam

Selimut nyawa pemberianmu,
hangatkan suasana
Selimut suka cita,
hilangkan duka lara

Selimuti diriku selamanya,
dalam jiwa ragaku
Erat takkan lepas

Sahabat,
hiasiku ciptakan kenangan

Selasa, 07 Juni 2011

Demit

Singsongsooe...
Singsongsooe...
Sang Surya menenggelamkan masa
Mengubah langit sekejap gelap
Angin malam berhembus
Menusuk jantung nadi
Meresap ke pembuluh darah
Mengusik bulu roma

Petunjuk sesat terperangkap penat
Kuat erat mengikat seluruh jalan yang tersesat
Raupan segala siksa demit
Berimbas sampai makhluk paling tolol

Asup menyusup mengendap-endap
Merangkak mengesot singsongsooe...
Tampak sekelebat jubah muram

Demit semprul..!

Kau usik ketenanganku
Ketenangan batin di pucuk bukit rimba
Bertapa seribu satu hari
Berakhir dalam keblangsakan demit

Your IP Address

Comment with Facebook

Pengunjung Negera

free counters