Senin, 05 September 2011

Dua Belas Jam Tanpamu (In Memoriam)

Dua Belas Jam Tanpamu
Karya: HW Prakoso


Senin malam bersama rumput ilalang yang menemani tidur kami. Di sampingku sudah mulai terdengar bisikan yang tak jelas. Tidur beratapkan luasnya langit dan beralaskan rumput sungguh terasa nyaman. Apalagi bersama kerabat yang selalu setia bersama. Walaupun jarum terbang penghisap darah terus mengganggu kulitku!


Aku sangat lelah karenanya aku mengawali tidur dari pada masih berceloteh ria. Sebenarnya aku rindu suasana ini. Tapi kantuk ini tak dapat kucegah.

Mereka terus mengusikku, seakan mereka menjadi rekan nyamuk yang sangat bising. Dan akhirnya aku menyerah! Memaksaku untuk ikut gabung di forum itu.
Ganggu bae sih! Tega nemen sung!”[1] kesalku kepada mereka.

Mata yang dari tadi sudah tidak kuat mengangkat, sekarang terbius oleh canda tawa mereka. Dan dari seluruh wajah yang terbawa arus humorium. Hanya satu yang tersenyum manis dalam kerumunan ini. Ditambah lagi dalamnya lesung pipit yang melengkapi senyum.

Jika aku bersama-sama dengan keluarga baru ini, terasa hidup ini lebih banyak kenangan indah. Itulah yang membuatku akrab layaknya mereka keluarga kandungku. Bertahun-tahun ku lewati hari-hari bersama mereka. Walaupun terkadang aku sering absen jika harus mendadak ada perkumpulan.

Dua tenda yang telah berdiri bersama kami menjadi saksi terciptanya kekerabatan, jalinan persaudaraan yang erat. Melewati detik berganti menit menjadi waktu berharga dan lebih bermanfaat. Tidak berhura-hura atau menghabiskan waktu sia-sia. Melaksanakan sholat berjamaah dan lain sebagainya. Sungguh sangat terasa tenang berada dalam komunitas ini.

Sosoknya begitu sangat murah senyum. Walau dalam keadaan apapun ia sangat tidak bosan untuk melemparkan senyuman termanis kepada semua orang. Dan aku yang kali ini mendapatkannya. Semula mata yang terkantuk mendapatkan kemurahan senyum olehnya. Dan ku balas dengan senyum kepadanya.

Suasana menjadi sunyi. Semua memandang wajah satu sama lain. Penuh keseriusan dan sejenak berubah gelak tawa. Itulah salah satu ciri khas kami. Dan kembali kami mendapatkan dalamnya lesung pipit di senyumnya. Dan ku perhatikan dia sedikit lebih pendiam dari sebelumnya. Entah mengapa dia selalu menebarkan senyum kepada kami. Aku tak merespon dengan alasan apapun. Yang terpenting kami dapat berkumpul bersama merayakan hari jadi perkumpulan kami. Sembari mengenang masa-masa bertemunya kami dahulu.

Anggota termuda, adalah predikat dia. Umurnya memang di bawah rata-rata dari umur kami. Namun ia mampu bergaul dengan kami tanpa canggung. Perilaku yang ia buat bisa membuat kami terbahak-bahak, walau terkadang juga menjengkelkan. Mempunyai dia adalah sebuah anugrah yang tak ternilai.

---
Cahaya bulan yang menerangi kebahagian kami mulai menyusut. Sang Surya di ufuk timur mulai mengintip. Memulai aktifitas seharian dengan sekedar jeprat-jepret mumpung pemandangan di sekitar bukit sedang sejuk. Sembari memikirkan apa yang akan kami siapkan pada sore nanti. Dan memulai cerita baru esok harinya.

Sengat matahari siang hari sangat menggoda nafsu kami. Sisa makan sahur di perut sudah mulai habis. Memutuskan untuk beristirahat sejenak dalam tenda. Ditemani cerita-cerita yang sudah kami kumpulkan tadi. Sambil melihat hasil pengambilan foto tadi.
Zal, Deleng ow. Gayamu kaya foto model bae. Mentang-mentang nduwe lesung pipit. Hahaha...”[2] candaku padanya.
Iri beee...”[3] Jawabnya singkat.
Wis suwe ora jeprat-jepret. Apa maning dewek wis lulus. Tinggal bocah loro kiye sing durung.”[4] Sambungku.
Yah, ngerti dewek ow, dewek adik kelase kowen-kowen. Aja ngawag lah. Ana-ana bae his.”[5] Jelasnya sambil merebut kamera digital yang ku pegang.
“Main serobot aja sih!” kesalku.

Yang kumaksud adalah Izal dan temannya, Akim. Mereka adalah anggota yang paling muda di antara kami. Setelah kami lulus, hanya mereka berdua yang masih sekolah. Dan mereka adalah sahabat sejati. Ke mana-mana selalu bersama.

Begitulah kami menelusuri waktu hingga sore tiba menjelang. Adzan Magrib pun berkumandang. Tiba saatnya untuk menyantap buka puasa. Terasa sekali kami mampu berbagi kebahagiaan bersama kerabat terdekat. Menyantap hidangan yang telah disiapkan dan waktunya makan. Dalam hal ini kami sangat merasakan kerinduan yang mendalam. Entah mengapa. Karena hari ini adalah berakhirnya pertemuan reuni sekaligus perayaaan hari jadi perkumpulan kami.

Setelah sholat Magrib, kami berpisah untuk pulang. Perjalanan menuju rumah tidak begitu jauh. Dan di pertikungan jalan, kami memisahkan diri. Ada yang mengantarkan dan ada yang langsung pulang. Kebetulan Izal tidak membawa motor.
Zal, tak anter ya?”[6] pinta Akim kepadanya.
Ok, sapa maning sing pan nganter aku?”[7] pintanya kepada yang lain.
Segera Slamet dan Ical membuntuti motor yang ditunggangi Izal dan Akim. Mereka mengantar ke rumah Izal yang memang agak lebih jauh. Malam itu yang mengantar langsung pulang setelah tiba di rumahnya. Tanpa mampir atau istirahat sejenak. Karena memang hari sudah mulai larut malam.

 ---
Pagi ini, mobil yang mengantarkan Wahyu pulang sudah berada di depannya. Sayang, Wahyu kemarin tidak hadir dalam acara. Sibuk magang di kerjaan barunya. Aku dengar, hari ini dia selesai magang dan ditempatkan kerja di Tegal. Tak sabar aku ingin cerita di markas kami sepulangnya dari Semarang.

Iseng-iseng Wahyu mengirim pesan kepadaku. Karena ia dalam perjalanan pulang.
Pimen wingi acarane? Lancar? Kiye aku lagi perjalanan balik. Aku ditempatna nang Pagongan, Tegal.[8]
 
Segera aku membalasnya dengan hati yang sedang duka.
Alhamdulillah.
Oiya, perkiraan tekan Tegal jam pira? (Oiya, perkiraan datang ke Tegal jam berapa?
Wis krungu kabar duka durung? (Sudah dengar kabar duka belum?)




Izal meninggal cz kecelakaan. (Izal meninggal karena kecelakaan)

Mungkin saat membacanya Wahyu sangat terpukul dan sedih. Terlihat saat ia membalas pesan yang baru saja aku kirimkan.
Innalillahi wa inna illaihi rozi’un...
Jam brapa mninggalnya? (Jam berapa meninggalnya?)

Aq kie esih ng Pekalongan. Mgkin 2jam lg.

Kpan dimakamkn? Smpet ga aq ikut?
Tp gmana ni, Hri ni hri prtama aq kerja.


Kulihat jam di handphoneku menunjuk pukul 11 lewat 6 menit.
Mgkin gak sempet Yu, mninggalnya wktu brngkat sekolah.
Ini aq n tmen2 lg pda kmpul di rmh Alm.
Pmkamannya mngkin 1jam lg. Stlh Dzuhur.
Udh, ga ush dipaksaain. Ada tmen2 dsni.
Yg pnting mnta keikhlasannya aja.

Ketika itu Izal bersiap untuk berangkat sekolah. Dia sudah berada di pinggir jalan. Namun tukang becak yang berada tak jauh darinya berteriak. Cairan merah itu keluar dari tubuhnya. Naas, ia tertabrak truk yang melintas ketika ia hendak menyeberang. Putih abu-abunya kini ternoda oleh darah. Pesan angin yang membawa bendera kuning datang menghampiri kami. Aku saja sangat terkejut mendengarkannya.

---
Setibanya di Pagongan, Wahyu tidak konsen mendengarkan job desk pekerjaan barunya. Untunglah ia mendapatkan waktu yang singkat untuk pulang lebih awal. Dalam perjalanannya bersama angkot ia segera turun di pertigaan Dedi Jaya. Lalu ia berjalan ke markas menemui kami yang sudah tiba menunggunya. Tak lama motor yang dikendarai Uchi juga menuju markas. Mereka berdua masih berpakaian kerja.

Kami berduka dalam 2 September 2009. Dua belas jam tanpamu. Kasmad yang dari tadi otak atik komputer mencari dokumentasi yang sempat kami rekam. Foto-foto dan sekilas video Almarhum dibukanya. Ku temukan lesung pipi itu lebar. Wahyu menutup mulut menahan derasnya sesegukan dan air mata yang mengalir. Dilihatnya mendiang tersenyum manis dan dirinya berdiri agak menjauh dari badan teman-teman di sampingnya yang rapat erat.

-o0o-
Catatan kaki :
[1]. Mengganggu saja! Sungguh tega sekali!
[2]. Zal, Lihat ini. Gaya kamu seperti model foto saja. Mentang-mentang punya lesung pipit. Hahaha...
[3]. Iri, ya...
[4]. Sudah lama tidak berfoto. Apalagi semenjak kita lulus. Tinggal dua orang ini yang belum.
[5]. Yah, tahu sendiri lah, kita ini adik kelasnya kalian. Jangan sembarangan. Mengada-ada saja.
[6]. Zal, Saya antar, ya?
[7]. Ok, siapa lagi yang mau mengantar aku?
[8]. Bagaimana kemarin acaranya? Lancar? Ini aku masih perjalanan pulang. Aku ditempatkan di Pagongan, Tegal.


-o0o-


Naskah di atas adalah cerpen dari buku IRIS HITAM, terbitan Leutika Prio.

1 komentar:

Your IP Address

Comment with Facebook

Pengunjung Negera

free counters